SENYAP



Senyap, sepi.

Tak banyak yang dapat dikatakannya,
melihat semua kemungkinan-kemungkinan yang ada;

                                    ditinggal karena dikhianati
                                                ataupun
                                                            memutuskan untuk pergi karena disakiti.

Kedua kemungkinan terkesan sangat tak manusiawi.

Maju salah, mundur pun kena p’rangkap.

Tapi untungnya, pemikiran optimisnya—setidaknya—tidak membuat kemungkinan itu menjadi
           sebuah pedang yang membuatnya terkapar lemas tak berdaya.


Perempuan hebat, mungkin, katanya mengakui dirinya sendiri.


Acuh tak acuh, ia anggap perasaan tadi sebagai alat tahan banting untuk menguji dirinya yang ia rasa masih sedikit memberikan efek beban. 

Ia merasa lumrah jadinya dengan perihal perasaan jika dibandingkan dengan persoalan keuangan atau mengurusi pekerjaan rumah tangga yang bobot-bebet-nya lebih berat. Ia akan bersedia angkat tangan untuk kedua hal itu.

Dengan berbagai macam keberatan-keberatan yang ada, bolehlah ia mengambil sebuah kesimpulan untuk tidak terlalu mengurusi tentang urusan hati. 

Ia lelah dan tak kunjung jua memahami bagaimana ia harus menghadapi keputusan yang terkesan memaksa dan sama saja.

Tidak ada guna. 

Tidak ada alasan untuk dirinya memilih—selain hanya menunggu lelaki itu yang memutuskannya. Apakah lelaki itu akan meninggalkannya atau lelaki itu membuat dirinya harus meninggalkannya.


       Dan ia hanya duduk termenung, memikirkan segala macam kemungkinan setelahnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Man Who Fails His Mind

Introverted Extrovert

Communals