Paradox

Desiran ombak mendayu—menyisir tepian pantai. Matanya ikut sayup—seperti di-nina-bobo-kan oleh alunan melodi air yang bercumbu dengan pasir. Matanya berkeriyap memandang ombak yang selayaknya menari berulang kali.


Tak henti-henti, tanyanya dalam relung—bisakah seseorang mencintai terus menerus seperti ombak yang tak henti menyapa pasir putih diujung pantai?

Acapkali ia ingin sekali melantur. Karena menurutnya realita sudah tidak bisa ia percayai—sesekali iya! namun lebih banyak tidak! 
Bahkan rasa percaya kepada dirinya sendiri sudah sangat sedikit—lebih sedikit daripada titik-titik bintang di langit gelap malam ini. Hanya bisa dihitung oleh jari.. tidak lebih!

Terkadang ia bingung—oleh perasaan yang berkecamuk, seperti ada badai topan menerjang hatinya. Tapi seketika juga—hatinya bisa terasa damai, seperti sedang bertamasya ke padang bunga. Tak bisa dipercaya, itu adalah kata-kata yang sering ia ucapkan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Apalagi soal cinta—dia tak tahu apa itu cinta. Rasa-rasanya ia tahu—tapi sudah sangat lama. Sekarang perasaan itu (yang ia tahu seperti gairah yang kuat, ketertarikan yang besar, pengorbanan) tidak pernah lagi ia rasakan. 

Maka dari itu, hari ini, ia berusaha untuk menenangkan diri di pinggir pantai—siapa tau ombak malam berbaik hati berbisik kepadanya, memberinya nasihat tentang cinta yang sudah lama tak ia kenal. 

"Apa lagi yang kamu ingin tahu memangnya?" pikirannya sudah tak wajar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Man Who Fails His Mind

Introverted Extrovert

Communals